Meraih Ikhlas adalah dengan beramal hanya mengharapkan ridha Allah dan kehidupan akhirat, tidak tercampuri keinginan untuk mencari pujian manusia. Sebagian orang tekun berbuat baik, namun sayang ada yang keliru dalam niatnya. Ia berbuat baik, namun tujuannya supaya orang-orang menyebutnya orang baik “oh orang ini sering haji, orang ini sering umrah, orang ini gemar sedekah, orang ini rajin membantu tetangga, orang ini rajin shalat malam dst.”
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al-Bayyinah: 5).
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Ku-ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-dzariyat: 57).
Berangkat dari ayat ini, seorang yang telah mengetahui bahwa tujuan ia diciptakan adalah untuk ibadah, maka seyogyanya ia menjadikan setiap gerak-geriknya adalah ibadah. Orang yang cerdas, ia ubah kebiasaannya menjadi bernilai pahala. Adapun orang yang lalai, amalan ibadahnya hanya bernilai kebiasaan yang tidak mendatangkan pahala. Letak perbedaan antara kedua orang ini adalah pada niat. Yang satu amalan mubahnya bernilai pahala, karena ia niatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang kedua, amalan ibadahnya hanya bernilai kebiasaan, karena tidak adanya niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Disinilah pentingnya menghadirkan ikhlas dalam setiap amal. Seperti yang diungkapkan oleh para ulama,
الكيس جعل عاداته عبادة، والغافل جعل عباداته عادة
“Orang yang pandai, dia jadikan amalan mubahnya menjadi ibadah. Adapun orang yang lalai, ia jadikan amalan ibadahnya menjadi sebatas kebiasaan (‘adaat).”
Orang yang pandai, saat makan ia niatkan agar tubuhnya kuat untuk beribadah. Sehingga aktivitas makan dan minumnya menjadi berpahala. Saat mengenakan pakaian, ia niatkan untuk menutupi aurat badannya, sebagai bentuk pengamalan terhadap perintah Allah ta’ala,
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًاۖ
“Hai Anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian (tambahan) sebagai penghias untukmu” (QS. Al-A’raf: 26).
Sehingga perbuatan mengenakan pakaiannya tersebut, menjadi bernilai ibadah; yang mendatangkan pahala.
Rupanya tak cukup berhenti di situ, ternyata aktivitas berpakaian tersebut juga mengingatkannya akan pakaian yang lebih penting. Kalau pakaian yang ia kenakan hanya berfungsi sebagai penutup aurat badan, sekarang ia ingat, ada pakaian yang lebih penting dari pakaian badan. Yaitu pakaian takwa, yang menjadi perisai ruh dan hati, dari aurat-aurat dosa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat” (QS. Al-A’raf: 26).
Jum’at berkah jum’at bersedekah