CINTA DIGESER DENGAN CINTA

Saat cintamu kepada dunia sulit engkau lepaskan maka balaslah cintamu kepada dunia dengan cintamu kepada akhirat.

Secara fithrah manusia mencintai dunia, karena memang Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan berbagai kesenangan dunia itu indah di mata manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allâh-lah tempat kembali yang baik (surga). [Ali-‘Imrân/3:14].

Dunia itu hijau dan manis, maka hendaklah manusia berhati-hati dengan dunia. Jangan sampai kesenangan dunia mnejerumuskan ke dalam kemaksiatan dan melalaikan dari ketaatan kepada Sang Pencipta.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau, dan sesungguhnya Allâh menjadikan kamu sebagai khalifah di dunia ini, lalu Dia akan melihat bagaimana kamu berbuat. Maka jagalah dirimu dari (keburukan) dunia, dan jagalah dirimu dari (keburukan) wanita, karena sesungguhnya penyimpangan pertama kali pada Bani Isrâil terjadi berkaitan dengan wanita. [HR Muslim, no. 2742].

Maksud “dunia itu manis lagi hijau” adalah keindahan dan kenikmatan dunia itu seperti buah-buahan yang berwarna hijau dan manis, karena jiwa manusia berusaha untuk mendapatkannya. Atau maksudnya adalah dunia itu segera sirna, seperti sesuatu yang berwarna hijau dan manis juga akan segera rusak.

Oleh karena itu jangan sampai kita terpedaya dengan dunia dan melupakan akhirat. Karena seandainya manusia hidup puluhan tahun di dunia ini, dengan berbagai kenikmatan yang dimiliki, sesungguhnya semua itu kecil dibandingkan kenikmatan akhirat.

DUNIA SANGAT SEDIKIT DIBANDINGKAN AKHIRAT
Banyak orang terpedaya dengan keindahan dunia, sehingga melupakan amal untuk akhirat. Padahal sesungguhnya dunia itu sangat kecil dibandingkan akhirat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ ۚ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ ۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ

Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu, “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allâh” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. [at-Taubah/9:38].

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ﴿١٦﴾ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ

Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. [al-A’la/87:16-17].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuat perbandingan antara dunia dan akhirat. Perbandingan antara keduanya bagaikan seseorang yang mencelupkan jarinya ke dalam lautan, maka dunia bagaikan setetes air yang melekat pada jari-jarinya itu. Al-Mustaurid bin Syaddad Radhiyallahu anhu berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Demi Allâh, tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari kamu yang mencelupkan jari tangannya ini –perawi bernama Yahya menunjuk jari telunjuk- ke lautan, lalu hendaklah dia perhatikan apa yang didapat pada jari tangannya”. [HR Muslim, no. 2858].

hub al- Dunya menurut bahasa adalah mencintai dunia, adapun menurut istilah adalah mencintai dunia yang disangka mulia dan di akhirat menjadi sia-sia.

 

Itba’ al-Hawa

Dalam kitab Ri’ayat al-Himmat diungkapkan definisi Itba’ al-Hawa sebagai berikut : Itba’ al-Hawa menurut bahasa berarti mengikuti hawa nafsu adapun menurut Istilah syara’ berarti orang lebih mengikuti jeleknya hati yang diharamkan oleh hukum syari’at itulah orang mengikuti hawa maksiat.

Definisi di atas dapat dipahami bahwa Itba’ al-Hawa berarti sikap menuruti hawa nafsu untuk melakukaan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum Syara’. Orang yang mengikuti hawa nafsu, demikian menurut K.H. Ahmad Rifai’ , berarti buta mata hatinya karena ia tidak mengetahui adanya Allah. Orang yang seperti ini akan tersesat dari jalan Allah, bahkan menjadi kawannya setan, dan ia melupakan kebagiaan hidup yang kekal dan hakiki di akhirat

Pendapat K.H. Ahmad Rifa’I ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Shad ayat 26:

ولا تتبع الهوى فيضلك عن سبيل الله إن الذين يضلون عن سبيل الله لهم عذاب شديد بما نسوا يوم الحسا    

Artinya : “ Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat siksa yang sangat pedih karena meneka melupakan hari penghitungan.”

Al-Thama

K.H. Ahmad Rifa’I memberikan definisi al-thama sebagai berikut : Yang dimaksud thama menurut tarajumah adalah rakus hatinya. Sedang menurut istilah adalah sangat berlebihan cintanya terhadap dunia tanpa memperhitungkan haram yang besar dosanya.

Definisi di atas dapat dipahami bahwa thama berarti sifat rakus yang sangat berlebihan terhadap keduniawian, sehingga tidak mempertimbangkan apakah cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh keduniaawian itu hukumnya halal dan haram, yang penting dapat memperoleh kemewahan hidup di dunia.

Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan lebih rinci tentang pengertian dunia sebagai berikut:

  1. Sesuatu yang menemani manusia di akhirat dan pahalanya kekal bersamanya sesudah mati, yakni ilmu dan amal, ini tidak tergolong dunia melainkan akhirat. Adapun ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu tentang Allah, sifat-sifatNya, af’alNya, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, alam malakut bumi dan langitNya, serta ilmu yang disyari’atkan oleh nabiNya. Sedangkan amal yang dimaksud di sini adalah amal ibadah yang ikhlas karena Allah semata
  2. Segala sesuatu yang memberikan keuntungan dan kelezatan kepada manusia yang langsung diperoleh di dunia akan tetapi tidak memberikan pahala baginya di akhirat, seperti kelezatan yang diperolehnya dengan melakukan segala macam perbuatan maksiat dan bersenang-senang dengan hal-hal yang mubah akan tetapi melewati kadar kebutuhan, maka hal ini tergolong dunia yang tercela.
  3. Segala sesuatu yang memberikan keuntungan kepada manusia dan langsung diperoleh di dunia untuk menolong kepada amal perbuatan akhirat, seperti sekedar makanan, pakaian sederhana, dan lain sebagainya yang merupakan sarana pokok demi kelangsungan hidup manusia dan kesehatannya agar dapat menghantarkan kepada ilmu dan amal, maka hal ini tergolong akhirat karena makanan, pakaian, dan kebutuhan pokok tersebut digunakan sebagai sarana untuk menolong amal perbuatan akhirat. Namun demikian, jika faktor yang mendorongnya hanya sekedar memperoleh keuntungan langsung di dunia, tidak dijadikan sebagai sarana untuk taqwa kepada Allah, maka hal ini bukan tergolong akhirat melainkan tergolong dunia.

Rasulullah SAW. Bersabda :

الدنيا مزرعة للأخرة

Artinya : Dunia adalah kebun bagi akhirat

Itba’ Al-Hawa.

Oleh karena itu, hawa nafsu harus dikekang dan diperangi agar manusia dapat meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat yang melanggar hukum syara’. Karena hawa nafsu merupakan pangkal dari perbuatan maksiat. Seperti dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim :

أصل كل الشرر ا ؤك عن نفسك مأوى الضر

Artinya : Setiap perbuatan jahat itu berasal dari kerelaanmu terhadap keinginan nafsumu untuk menjadi tempat penderitaan.

Thama’

Sifat rakus seperti itu, sangat tercela dan membahayakan bagi manusia. Karena ia dapat mengakibatkan timbulnya rasa dengki, iri, dan permusuhan antar sesama manusia, serta perbuatan-perbuatan keji dan munkar, sehingga manusia lupa kepada Allah dan lupa kepada kebahagiaan hidup yang abadi di akhirat.

Oleh sebab itu, orang yang sangat rakus terhadap keduniawian menjadi orang yang paling hina di sisi Allah. Sebab ia tidak lagi menyadari bahwa dirinya itu hamba Allah yang seharusnya mengabdi kepada-Nya, melainkan menjadi budaknya dunia. Hal ini sejalan dengan ungkapan Ibrahim bin Ismail dalam kitabnya Syarh Ta’lim al-Muta’lim berikut ini :

هي الدنيا أقل من القليل وعاشقتها أذل من الذليل

Artinya : Itulah dunia lebih sedikit dari segala yang sedikit, dan orang yang rakus kepadanya lebih hina dari orang-orang yang hina.

Sesuai pula dengan hadist Nabi yang diriwayatkan Ibnu Majah, al-Tirmidzi, dan al-Hakim dari Sahal bin Sa’ad bahwa Rasulullah SAW bersama sahabat-sahabatnya melewati seekor kambing yang sudah mati, lalu beliau bersabda :

أنرون هذه الشاه هينه على أهلها؟ قالوا من هوانها ألقوها فال والذى نفسى بيده للدنيا أهون على الله من هذه الشاة على أهلها ولو كانت الدنيا

Artinya : Tidaklah kalian melihat kambing ini hina bagi pemiliknya? Para sahabat berkata : karena kehinaannya, mereka melempar kambing itu Rasulullah bersabda : Demi Dzat yang menguasai jiwaku, sesungguhnya dunia itu lebih hina bagi Allah dari pada kambing ini bagi pemiliknya. Seandainya dunia ini seimbang di sisi Allah dengan sayap seekor nyamuk, niscaya Allah tidak memberikan minum kepada orang kafir seteguk air dari dunia.

Menurut al-Ghazali hadits ini dinilai hasan oleh al-Tirmidzi.

Orang yang sangat rakus terhadap keduniaanm demikian menurut K.H. Ahmad Rifa’i, tidak akan pernah merasa puas, sehingga ia terus mengejarnya sampai binasa, sebagaimana diungkapkan dalam bait nazham berikut ini : Perumpamaan orang yang rakus mengejar keduniawian adalah seperti orang yang meminum air laut setiap bertambah meminumnya, maka semakin bertambah dahaga yang tidak ada rasa puasnya bahkan sampai datang ajalnya kepada orang yang meminum air laut yang asin.

               Hub. Al-Dunya ialah mencintai dunia yang disangka mulia dan di akhirat menjadi sia-sia. Itba’ al-Hawa berarti sikap menuruti hawa nafsu untuk melakukaan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum Syara’. thama berarti sifat rakus yang sangat berlebihan terhadap keduniawian, sehingga tidak mempertimbangkan apakah cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh keduniaawian itu hukumnya halal dan haram, yang penting dapat memperoleh kemewahan hidup di dunia. Hasad berarti, mengharapkan sirnanya kenikmatan Allah yang berada pada orang Islam baik berupa kebajikan ilmu, ibadah yang sah dan jujur, harta, maupun yang semisalnya.

#YKIS 7/3/19 KE 55

#NASKOT,SEMBAKO

#SUNATAN ANAK YATIM

#KEEP ISTIQOMAH

Tinggalkan Balasan